Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sarasehan Putro Romo - Laku Gelar Gulung (1/11/2020)

 


Kapribaden Putro Romo - Dokumentasi Sarasehan Putro Romo, Desa Pekunden Banyumas (1/11/2020)



Dawuh Rama dumateng para putera :

 

Duwur duwure gunung semono

Duwur duwure langit ya mung semono

Duwur duwure drajat pangkat ya mung semono

Duwure langit, Jeroning Segara ya mung semono

Mula Eling marang Semono, Eling jamaning semono,

Eling mono, Mono kuwe Siji, Si kuwe Isi, Ji kuwe Jiwa

Isi bisa siji, wadahe werna werna, sebab kabeh kawengku dening mono / semono



 

Pengetan Tumuruning Wahyu Tunggal/Wahyu Eka Buwana ana telenging tanah Jawa

Tumuruning Wahyu Senin Paing,13 malem 14 Nopember 1955


Dawuh RAMA :


Ingsun Mijil Harsa Sungsang Buwana Balik,

Jagad Lawas Sinungsang Buwana Balik Dadi Jagad Anyar

Jagad Melek Sinungsang Buwana Balik Dadi Jagad Turu,

Sing Melek Rasane,Sing Turu Angen-angen-e.

 

 

 

Laku Gelar-Gulung

Gelar artinya yang lahiriah. Gulung artinya yang spiritual, yang gaib.

Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, lakunya Gelar-Gulung.

Artinya :

Apapun yang diterima Gulung, yaitu karsanya Hidup yang tertangkap Rasa, segera di Gelarkan, dilaksanakan.

Catatan :

Karsanya Hidup (“dawuhe Urip”), apabila diterima (di Rasa, juga disebut Roso Jati), harus segera dilaksanakan.

Kalau ditunda pelaksanaannya, kita tidak akan mendapat bukti kebenaran “dawuh” itu. Tidak akan terjadi, “dawuh” diberikan, tetapi belum waktunya (belum “titi wanci”). Hidup tidak akan memberikan “dawuh”-nya, kalau belum waktunya dilaksanakan.

Itu yang disebut “nggelarake gulung”. Maka ada rumus bagi Putro (penghayat laku ini), yaitu :

Krenteg, Budhi, Ono(Timbul rasa, tergerak rasanya, langsung bertindak, dilaksanakan, akan ada buktinya).

Sebaliknya :

Apapun yang dialami, dihadapi, harus selalu di-Gulung. Artinya, apapun yang kita alami, kita hadapi, harus Mijil, untuk ditanyakan kepada hidup, apa sebenarnya makna dari kejadian yang kita alami atau hadapi itu.

Ini yang dinamakan “Nggulung samubarang kang sipat Gelar” (meng-Gulung yaitu mengecek ke dalam, semua yang bersifat lahiriah).

Jadinya, kita tidak gegabah menyimpulkan segala sesuatu yang kita alami, kita hadapi, karena kita tahu, makna dan maksud yang tersembunyi di balik kejadian itu. Dengan bahasa lain, kita tahu, apa yang sebenarnya menjadi kehendak Tuhan, yang diterima oleh Hidup dalam diri kita.

Sering, kita alami kejadian yang tidak mengenakkan diri kita. Setelah di Gulung, kita tahu, bahwa sebenarnya itu merupakan peringatan atau petunjuk dari Tuhan. Dan ini, hanya Hidup yang tahu. Ini sebenarnya yang disebut menemukan hikmah dari segala kejadian. Bukan dengan menghubung-hubungkan melalui pikiran kita (“ngotak-atik gatuk”).

Melatih laku kita

Arena paling baik untuk berlatih menjalani laku ini, adalah dalam keluarga kita masing masing. Kalau dalam keluarga kita sendiri, kita sudah bisa seperti digambarkan didepan, kita melatih diri di arena yang lebih luas. Misalnya di tempat kita bekerja, atau di dalam kita bermasyarakat.

Tetapi, ada arena yang sangat efektif untuk berlatih, yaitu dalam Sarasehan bersama-sama kadhang kadhang kita

Romo Herucokro Semono :

“Nek beras sak las dhideplok, mesti ajur. Nanging nek beras sak lumpang, jenenge dhisosoh. Ora amargo soko alune utowo lumpange, nanging amargo gosok ginosok antarane las siji karo sijine, dhadhi podo mlecete, dhadhi podo putihe”.

(Kalau sebutir beras ditumbuk pasti hancur, tetapi kalau banyak, ditumbuk, bukan karena penumbuknya atau tempatnya, melainkan butir yang lain, lalu sama sama terkelupas, sama sama menjadi putih)

Jadi saling gosok (gosok-ginosok) antara sesama kadhang, akan sangat mempercepat proses laku kita.

Memang, digosok itu tidak enak, kadang kadang agak sakit, tetapi kalau kita takut tergosok, kita tidak akan pernah jadi putih (bersih).

Kebersamaan sesama penghayat Laku ini

Seorang penghayat dengan penghayat lain disebut “Kadhang”.

“Kadhang” di sini, artinya seseorang yang hubungannya melebihi saudara kandung.

Romo Herucokro Semono :

“Sedhulur sakringkel iku sing podo mung kulit-dhaginge, dhadhi bisa bosok, nek kadhang iku Urip-e, dhadhi tansah rante-rinante rasane”.

(Saudara kandung itu yang sama hanya kulit-dagingnya, jadi bisa busuk, kalau kadhang itu Hidupnya, jadi seperti mata rantai, yang rasanya selalu berhubungan).

Kebersamaan para penghayatnya dinamakan “Kekadhangan”.

“Kekadhangan” ini terbentuk secara alamiah, kalau masing masing memang benar benar mengikuti Hidup.Bahwa Hidup itu sama, sebenarnya Satu.

Maka, kalau masing masing mengikuti Hidup, akan tertarik untuk menyatu. Bukan cuma bersatu.

Menyatunya sesama Penghayat menimbulkan ke-Guyub-Rukunan yang murni. Tidak dibuat-buat; bukan karena ada pamrih, dan lebih lebih tidak karena dipaksa.

Segala perbedaan lahiriah hampir tidak nampak dan tidak terasa. Kalaupun masih ada, hanya terbatas pada sikap yang didasarkan pada etika (sopan-santun, tata-krama). Yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda.

Yang tua dihormati karena memiliki kematangan jiwa disebabkan pengalaman dan kedalaman lakunya (“temuwo”), sedang yang muda dihargai karena kelebihan kepandaian dan semangatnya untuk menimba sebanyak-banyaknya, serta kemampuannya untuk bergerak aktif, dinamis, dan kreatif.

Dalam kegiatan apapun, tanpa direncana tanpa diatur. Masing-masing mengikuti Rasanya. Gaib yang mengatur. Dan hasilnya, apa yang dilakukan para penghayat itu, saling isi-mengisi, semuanya lengkap, terpenuhi, dan hasilnyapun membuat bahagia semua orang.


Ramane Inu
Ramane Inu Desa Pekunden Banyumas

Posting Komentar untuk "Sarasehan Putro Romo - Laku Gelar Gulung (1/11/2020)"